Halaman

Jumat, 15 Oktober 2010

Teori Akuntansi


TEORI AKUNTANSI POSITIF



Sebelum kita membicarakan hubungan antara teori Akuntansi Positif dan dan Teori Akuntansi Normative, ada baiknya jika kita mencoba membedakan sasaran dasar yang dimiliki kedua teori akuntansi tersebut.
Menurus Suwardjono (2002), perbadaan antara Teori Akuntansi Positif dan Akuntansi Normativ adalah sebagai berikut. Pembeda Positif Normatif Bentuk Penyataan Is should Nada Pertanyaan Descriptive prespektive Bidang masalah Facts Valuesm/ idealism Basis Penyimpulan Objective/ empirical Subjective Kriteria penerimaan teori True/false Good/bad Metoda Pengujian Science Art.
Dari table diatas dapat kita lihat bahwa sasaran dari :
1.      Teori Akuntansi Positif adalah Penjelasan atau penalaran untuk menunjukkan secara ilmiah kebenaran pernyataan atau fenomena akuntansi seperti apa adanya sesuai fakta. Fakta sebagai sasaran. menurut Friedman (1953), pada`hakekatnya terbebas dari ikatan pelbagai aspek etika—sebagaimana dikemukakan Keynes. Dia lebih mengacu ke istilah “apa adanya” (what it is) daripada ke istilah “seharusnya demikian” (it should be). Teori ini bertujuan menjelaskan meramalkan, dan memberi jawaban atas praktik akuntansi. Di samping itu, teori ini juga meramalkan berbagai fenomena akuntansi dan menggambarkan bagaimana interaksi antar-variabel akuntansi dalam dunia nyata. Validitas teori akuntansi positif dinilai atas dasar kesesuaian teori dengan fakta atau apa yang nyatanya terjadi (what it is).
2.      Teori Akuntansi Normatif adalah Penjelasan atau penalaran untuk menjustifikasi kelayakan suatu perlakuan akuntansi paling sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Lebih menjelaskan praktik-praktik akuntansi yang seharusnya berlaku—it should be. Nilai sebagai sasaran.
Contoh nyata pemberlakuan pemberlakuan Teori Akuntansi positif dengan menggunakan pendekatan Diealektika Hegel bisa dilihat ketika kita mempertanyakan Faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat pengungkapan sukarela. Jawaban dari pertanyaan itu berdasarkan fakta yang objektif dan berdasarkan bukti empiris.
Sedangkan contoh pemberlakuan Teori Akuntansi Normatif adalah ketika kita ingin mengetahui kapan sewaguna harus dikapitalisasi. Tentu pertanyaan tersebut menghasilkan berbagai alternative jawaban. Dengan menggunakan teori Akuntansi Normatif kita akan memilih yang paling tepat “seharusnya”, menggunakan penalaran logis. Di Indonesia Teori Akuntansi Normatif dikenal dengan nama Praktik Akuntansi Berterima Umum (PABU) atau GAAP. Salah satu bagian kecil dari PABU adalah SAK atau standar akuntansi Keuangan. SAK yang ada sekarang dikeluarkan oleh IAI melalui suatu organ yang kita kenal dengan Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK). Dewan ini bertugas untuk menyusun draft standar akuntansi keuangan yang akan diberlakukan. Draft tersebut terlebih dahulu didiskusikan dengan Dewan Konsultatif Standar Akuntansi Keuangan (DKSAK) untuk kemudian dikeluarkan draft-nya. Bila telah diperoleh masukan, dilakukan sosialisasi (public hearing) untuk memperoleh masukan lebih banyak lagi dari masyarakat luas (pemakai laporan keuangan). Selanjutnya, bila tidak ada masalah lagi, maka IAI akan mengesahkan standar tersebut dan diberlakukan secara efektif.
Dari dua contoh nyata diatas dapat dilihat hubungan antara Teori Akuntansi Positif dan Teori Akuntasi Normatif yaitu ;
1.      Perbedaan pendekatan dan dasar antara teori akuntansi tersebut menyebabkan dua taksonomi akuntansi. Pendekatan Teori Akuntansi Positif menghasilkan taksonomi akuntansi sebagai Sains. Sedangkan pendekatan Teori Akuntansi Normatif menghasilkan taksonomi akuntansi sebagai art. Yang keduanya sama sama diakui sebagai sarana pendekatan teori akuntansi.
2.      Teori Akuntansi Normatif yang berbentuk Praktik Akuntansi Berterima Umum (PABU) merupakan acuan teori dalam memberikan jalan terbaik untuk meramalkan berbagai fenomena akuntansi dan menggambarkan bagaimana interaksi antar-variabel akuntansi dalam dunia nyata yang meruipakan Fungsi pendekatan Teori Akuntasi Positif. Tidak menutup kemungkinan, fakta yang ada di dunia nyata (praktek akuntansi) akan mempengaruhi Teori Akuntansi Normatif. Hubungan ini Sesuai dengan paham Dialektika Hegel. Dimana antitasi dan tesis akan menghasilkan sistesis. Dan sistesis akan menghasilkan antithesis. Begitu seterusnya.


Artikel ini mencoba menelusuri Positive Accounting Theory sebagai salah satu domain yang dominan dalam riset akuntansi, terutama artikel-artikel Watts dan Zimmerman (1978, 1986, 1990) melalui serangan kritik-kritik “positif” maupun “negatif” seperti dilakukan Tinker et.al. (1982), Christenson (1983), Whittington (1987), Sterling (1990), Boland dan Gordon (1992), Gaffikin (2005).
Kritik “positif” terhadap Positive Accounting Theory memang hanya berkutat pada tataran metodologis dan untuk kepentingan pragmatism utility of accounting research. Sedangkan kritik “negatif” yang sebenarnya lebih fundamental, pada dataran filosofis (value laden) dan asumsi dasar teoritis (utility maximization), ternyata tidak (atau belum?) dipahami sebagai bentuk relationship of scientific accounting development. Tetapi selalu dipahami sebagai contradiction of scientific accounting development.

1.      PENDAHULUAN
Positivisme dalam Riset Akuntansi sebenarnya telah lama dilakukan, yang dimulai oleh Beaver (1968). Sedangkan Positive Accounting Theory (selanjutnya disebut PAT), dalam paradigmatic positioning, baru muncul ketika Watts dan Zimmerman meluncurkan artikel penelitiannya tahun 1978. Gagasan yang disampaikan oleh Watts dan Zimmerman merupakan gagasan teori yang sangat fenomenal, monumental sekaligus kontroversial. Banyak pujian muncul terhadapnya, dan akhirnya berujung dijadikannya PAT sebagai paradigma riset yang dominan, riset berbasis studi empiris-kuantitatif.
Tidak kurang pula kritikan dialamatkan kepada mereka. Kritikan, baik yang lebih menekankan pada kritik metodologi, kritik asumsi dasar ekonomi (teoritis), sampai pada kritik asumsi filosofis-sains. Kritikan pedas misalnya disampaikan Sterling (1990), yang mengatakan bahwa PAT tidak memenuhi syarat sebagai Ilmu yang utuh. Tetapi hanya dianggap sebagai Cottage Industry di sisi Periphery Accounting Thought. Atau disebut Tinker et.al. (1982) sebagai Marginalism.
Tulisan ini mencoba untuk melakukan penelusuran kritik-kritik yang dilakukan oleh akademisi di bidang akuntansi terhadap PAT dalam dua periode sebelum dan sesudah, yang dibatasi oleh artikel jawaban dari Watts dan Zimmerman (1990). Dari penelusuran itu akan ditarik benang merah yang muncul dari kritik PAT dan mencoba untuk melakukan evaluasi konstruktif.

2.      KRITIK SEBELUM WATTS DAN ZIMMERMAN (1990)
Kritik yang dilakukan Christenson (1983) pada pertanyaan-pertanyaan riset “positif” yang sebenarnya hanya berkaitan dengan ‘sosiologi akuntansi’ bukannya bertujuan untuk membentuk “teori akuntansi”, karena hal tersebut berkaitan dengan deskripsi dan prediksi tentang perilaku para akuntan atau manajer, bukan perilaku ’entitas-entitas akuntansi’. Dan yang paling penting lagi adalah seperti yang disebut Zimmerman (1980) yang mengutip pernyataan Friedman (1953) “untuk membedakan ekonomi positif dan ekonomi normatif”, bahwa kebijakan ekonomi yang ‘benar’ tergantung pada kemajuan ekonomi normatif yang mendukung kemajuan ekonomi positif sehingga teori ekonomi dapat diterima. Friedman tidak menggunakan istilah “teori positif”, tapi dia mengatakan bahwa “tujuan akhir dari ilmu pengetahuan positif adalah perkembangan ‘teori’ atau ‘hipotesis’ yang mampu memprediksi secara valid dan bermakna atas fenomena yang belum diamati.
Friedman menunjukkan perbedaan antara sains “positif” dan “normatif” dengan menyatakan bahwa: “sains positif dapat didefinisikan sebagai seperangkat pengetahuan (knowledge) tersistem yang berkaitan dengan “apa itu” (what is); sedangkan sains normatif atau regulatif didefinisikan sebagai seperangkat pengetahuan yang berhubungan dengan kriteria tentang bagaimana seharusnya……”. Konsep “sains positif” mulai populer sejak abad ke-19. Paradigma sains positif sering-kali disebut dengan “positivism”, yang hanya melakukan metode-metode ilmu pengetahuan alam yang memberikan “pengetahuan positif” (positive knowledge) tentang “apa” (what is) (untuk lebih detil dan sebagai pembanding dapat dilihat kritik dari Whitington 1987 misalnya).
Sebenarnya menurut Christenson (1983) memandang ilmu pengetahuan tidaklah harus dipandang dari perbedaan antara normatif dan positif. Tetapi ilmu pengetahuan empiris bisa dipandang sebagai produk (seperangkat pengetahuan atau knowledge yang tersistem) atau sebagai proses (aktivitas manusia dalam menghasil-kan pengetahuan atau knowledge). Para positivis menekankan pandangan bahwa ilmu pengetahuan me-rupakan suatu produk, yang ditunjukkan melalui struktur formal dalam bentuk proposisi empiris. Sementara itu, filsafat ilmu menekankan pada pandangan ilmu pengetahuan sebagai suatu proses. Jadi penekanan yang ingin disampaikan oleh Christenson adalah tidak penting apakah pencapaian ilmu pengetahuan itu dilakukan secara normatif atau positif, semuanya sah-sah saja. Dan semuanya benar. Bahkan pencapaian ilmu pengetahuan juga perlu dilakukan pada satu waktu bersifat normatif dan pada akhirnya bersifat positif. Hanya yang berbeda adalah pencapaian ilmu pengetahuan yang empiris lebih didasarkan pada produk dan proses.
Lebih mendalam lagi kritik PAT yang dilakukan Sterling (1990), dibagi dalam 3 bagian, yaitu Dua Pilar Utama (Studi Fenomena dan Value Free), Asumsi Dasar Ekonomi yang berakar pada Teori Ekonomi Positif, serta Science yang berakar dari Positivisme Logis) dan Pencapaian (Aktual dan Potensial). Kritik ringan Sterling berkaitan dengan penjelasan dan konten (isi) buku mereka yang terbit tahun 1986 yang berjudul POSITIVE ACCOUNTING THEORY. Rasional dari buku ini mengenai posisi scientific dari PAT hanya dijelaskan kurang dari 5% keseluruhan buku. Bab 1 yang terdiri dari 14 halaman dari 362 halaman, yang berkaitan mengapa teori dikatakan scientifik hanya setengahnya. Sehingga Sterling kemudian menjuluki buku ini sebagai Buku Akuntansi Empiris Berbasis Ilmu Ekonomi, bukan Buku tentang Teori Akuntansi. Hal ini terlihat dari parade kronologis studi empiris akuntansi pada Bab 2-13. sedangkan bab 14 merupakan Artikel Watts dan Zimmerman tahun 1979 yang diedit kembali. Sedangkan Bab 15 hanya Summary, Evaluation dan Prospects.
Kritik Sterling (1992) terhadap PAT dalam hal dua pilar utama, dibagi menjadi dua, yaitu studi fenonema dan value free. Studi fenomena sendiri berkaitan dengan penelitian praktik akuntansi, praktik akuntan dan utility maximization. Teori dianggap ilmiah bila berdasarkan praktik, sedangkan teori yang tidak dipraktikkan dianggap tidak ilmiah (semu). Praktik akuntansi didasarkan pada tujuan utama dari PAT, yaitu bahwa tujuan teori akuntansi adalah untuk menjelaskan (to explain) dan memprediksi (to predict). Studi fenomena yang berkaitan dengan praktik akuntan merupakan ekstensi fenomena akuntansi adalah bagaimana manajer membuat keputusan dengan memakai formulae atau mathematical constructions (seperti pada kasus LIFO atau LIFO). Pertanyaan yang muncul kemudian formula mana yang dipakai, kedua adalah mengapa formula tersebut yang dipakai. Fenomena akuntansi dan akuntan hanya diukur melalui mathematical constructions, yang digunakan untuk merepresentasikan bentuk-bentuk (informasi) akuntansi. Konstruk matematis ini dianggap Sterling hanya dapat memotret kata-kata dan angka-angka tanpa dapat melihat bentuk riil (things) dan kejadian (events). Sindiran Sterling (1990, 101) lengkapnya sebagai berikut : They have fallen in love with pictures (financial statements) without recognizing that they need be images of matters (economic goods).
Sedangkan berkaitan dengan behavior akuntan praktisi, PAT memiliki basic assumption Utility Maximization. Utilitas dalam PAT diasumsikan atau diaproksimasi sebagai income (atau cashflow, wealth, variabel finansial lainnya). Asumsi ini menurut Sterling (1990) tidak selalu benar, misal utilitas dalam pandangan philanthropist bukanlah income, tetapi altruistik. PAT tidak pernah melihat utility maximization di luar kepentingan self-interest, seperti gagasan yang menjadi rujukannya, Chicago School yang tetap melihat dua hal tersebut dalam satu bagian utuh.
Bahkan Ulitily Maximization sebenarnya tidak hanya dapat dijelaskan dalam seluruh perhitungan statistik. Bila setiap manusia memang memiliki utility mazimization seharusnya hasil penelitian adalah 100%. Tetapi kenyataannya pasti ada R2, yang terlihat sebagai bentuk tidak adanya kepentingan Utility Maximization yang 100%. Dari sini diperlukan metode penelitian di luar kuantitatif research yang dapat menjelaskan realitas utility maximization yang bukan hanya dikonstruk dalam bentuk income dan derivasinya, atau bahkan perilaku di luar utility maximization. Sterling misalnya mengusulkan adanya Antropologi Akuntansi, yang melihat fenomena akuntansi bukan hanya dari hasil mathematical constructions yaitu laporan keuangan misalnya (misalya Tinker, et.al. 1982, mengusulkan Historical Materialism).
Tetapi fenomena akuntasi seharusnya juga melihat proses akuntan melakukan proses akuntansi sampai menghasilkan laporan keuangan.
 Hal ini tidak dapat dilakukan oleh PAT, tetapi dapat dilakukan dalam kerangka sosiologis. Dari konteks seperti itu dapat terlihat motivasi perilaku apakah mengarah pada utility maximization atau tidak, kemudian juga dapat melakukan konfirmasi utuh terhadap realitas atau fenomena akuntansi dengan teori akuntansi yang normatif. Artinya tidak seperti PAT, yang menegasikan Teori Normatif, PAT telah salah dalam menilai Teori Normatif sebagai tidak ilmiah, dan hanya PAT yang ilmiah. Sebagai Newton atau Einstein-pun sebenarnya merumuskan teorinya tidak seluruhnya berasal dari fenomena yang seragam, tetapi juga dapat berasal dari pikiran normatif (misalnya Einstein dengan rumus E=mc2) atau fenomena tunggal (misalnya Newton dengan gagasan Gravity Theory)
Pilar kedua PAT menurut Sterling (1990) adalah Value Free. Value Free menghindari pertanyaan mengenai nilai (menjadi positive atau descriptive) adalah Ilmiah. Sedangkan yang mempertanyakan nilai (normatif) dianggap tidak ilmiah atau teori semu. Science adalah bebas nilai atau positif sedangkan yang sarat nilai atau normatif dianggap tidak ilmiah. Lacunae (bagian yang hilang) dari PAT adalah reduksi teori normatif, dan Positif adalah satu-satunya yang Ilmiah.
Sebenarnya tidak mungkin realitas akuntansi bebas dari aspek normatif, yang dengan demikian sarat dengan nilai. Ketika Watts dan Zimmerman mendefinisikan PAT sebagai textbook, saat itu pula PAT telah menjadi normatif dan Watts dan Zimmerman telah memasukkan nilai bahwa yang benar adalah proses empiris. Realitas empiris sebenarnya mempraktikkan aspek normatif akuntansi, yang kemudian diuji secara statistik (positif) yang kemudian melakukan konfirmasi teori. Sains secara umum memiliki rantai interelasi aktivitas; peneliti mencari dan menemukan teknik yang lebih maju, akademisi mengajarkan teknik tersebut, praktisi mengimplementasikan teknik lebih baik
PAT, lanjut Sterling (1990) dibangun dalam dua asumsi dasar, yaitu Ilmu Ekonomi Positif dan Positifisme Logis. Basis PAT dalam ekonomi seharusnya merujuk pada National Income Accounting. Juga dalam konsep utility, seharusnya merujuk konsep Optimality Pareto yang juga menjadi basis Chicago School. Basis PAT dalam sains merujuk pada positifisme logis. Positifisme sebenarnya adalah turunan langsung dari Positifisme Logis dari Hempel, Passmore, Poincare, dan Popper (hal ini diakui oleh Watts dan Zimmerman). Tetapi mereka sendiri melakukan penolakan terhadap konsep positifisme logis yang dianggap masih banyak kerumitan di dalamnya. Sedangkan penentuan kata positif dirujuk dari ilmu ekonomi yang banyak dipengaruhi oleh positifisme.
Berkaitan dengan pencapaian aktual dan potensial PAT, Watts dan Zimmerman (1986) memulai dengan asumsi bahwa semua orang bertindak untuk memaksimalkan utilitas mereka ketika menyeleksi metode akuntansi. Setelah 350 halaman dari buku PAT mereka menyimpulkan dari temuan empiris utama bahwa para manajer bertindak untuk memaksimalkan utilitas mereka ketika melakukan pemilihan metode-metode akuntansi. Kesimpulan empiris pemilik dan manajer memiliki kepentingan diri sendiri dengan memanipulasi angka akuntansi. Pengalaman itu dihasilkan dalam membangun fungsi auditing (dan membangun banyak komisi regulatori, pengesahan undang-undang, dll). Untuk alasan-alasan ini, masalah-masalh semacam itu telah dijelaskan oleh ahli teori normatif dan lainnya selama puluhan tahun. Hal yang sama dalam Pencapaian Aktual dalam 20 tahun yang akan datang terdapat laporan penelitian bahwa manajer dan atau pemilik cenderung memanipulasi angka. Hal ini sebenarnya juga sudah diprediksi oleh Normative Theory.

3.      SESUDAH WATTS AND ZIMMERMAN (1990)
Watts dan Zimmerman tahun 1990 menulis artikel setelah sepuluh tahun keluarnya gagasan mereka tahun 1978 mengenai PAT, dan empat tahun setelah terbitnya gagasan PAT dalam bentuk buku. Artikel Watts dan Zimmerman (1990), disamping melakukan evaluasi perkembangan PAT secara konseptual, juga melakukan tanggapan atas kritik-kritik terhadap PAT. Meskipun yang banyak dilakukan Watts dan Zimmerman (1990) adalah evaluasi mengenai konsep metodologis, bagaimana perkembangannya sampai saat ini dan pengembangan hipotesis yang dapat menunjang konsep utama PAT, to explain dan to predict. Pengakuan terhadap asumsi filosofis dan asumsi saintifik, sangat tidak konstruktif. Pengakuan bahwa sains tidak bebas nilai sebenarnya telah dipahami oleh Watts dan Zimmerman, meskipun dengan ’agak malu-malu’.
Kritik asumsi dasar PAT sesudah tulisan Watts dan Zimmerman (1990), misalnya datang dari Boland dan Gordon (1992), yang menurut mereka asumsi dasar PAT berasal dari Economic-Based Accounting Theory (1978, p.4; 1986, pp.1 & 13). Atau lebih detil lagi menurut Boland dan Gordon (1992) asumsi Watts Zimmerman tahun 1978, 1979 dan 1980 merupakan penggabungan dari Instrumentalisme dari Milton Friedman. Instrumentalisme menyatakan bahwa teori dan explanation harus dijustifikasi untuk kepentingan usefullness daripada realism. Asumsi Watts dan Zimmerman juga berasal dari Positivisme-nya Paul Samuelson. Teori yang berbasis empiris tidak akan berjalan jika hanya berada pada kondisi ideal. Sedangkan asumsi Watts dan Zimmerman tahun 1986 berasal dari kombinasi Poincare, Hemple dan Popper, yaitu Conventionalism. Conventionalism menyatakan bahwa teori tidak pernah sepenuhnya benar atau salah (never absolutely thrue or false).
Sedangkan kritik Boland dan Gordon (1992) dilakukan dalam tiga asumsi Metodologis, Filosofis, Akuntansi berbasis Ilmu Ekonomi. Pertama, Kritik metodologi seperti dilakukan Lev dan Ohlson (1982) memandang PAT tidak dapat dipakai untuk model yang multiperson, multiperiod equilibria, terdapat kesenjangan antara strategic considerations dan pendekatan game-theory yang dijadikan basis mengembangkan teori formal. Ball dan Foster (1982) memandang validitas konstruk dalam variabel “size” tidak jelas. Houlthausen dan Leftwich (1983) melihat terdapat dikotomi problematik dari variabel dependen yang merepresentasikan persetujuan atau ketidaksetujuan dalam penentuan standar akuntansi. McKee, Bell dan Boatsman (1984) memandang terdapat bias identifikasi statistik dalam studi Watts dan Zimmerman 1978.
Kedua, kritik Filosofis mirip Kritik Value Free dalam Sterling. Banyak penulis mengkritik pembedaan Positif dan Normatif dari Watts dan Zimmerman (Tinker, Merino, dan Neimark 1982; Christenson 1983; Schreuder 1984; Whittington 1987; Whitley 1988). Hal ini seperti dibahas oleh Sterling, yang lebih penting adalah seperti dijelaskan oleh Boland dan Gordon (1992) bahwa PAT berasal dari positivisme ala London School Economics dan Chicago School.
Ketiga, kritik berbasis Ilmu Ekonomi, menurut Boland dan Gordon (1992) beberapa pengkritik melihat keterbatasan penjelasan PAT (Sterling 1990 dan Mouck 1990). Dalam teori ekonomi sendiri, maksimasi kepentingan individu tidak sepenuhnya dilakukan. Hal ini harus juga dipandang bahwa maksimasi juga harus mempertimbangkan maksimasi welfare of society. Inilah yang disebut dengan General Equilibrium dari Chicago School yang dihilangkan dari asumsi Watts dan Zimmerman. Mereka hanya merujuk salah satu gagasan Chicago School terutama tulisan dari George Stigler dan Gary Becker 1977. Terutama pada gagasan penjelasan fenomena sebagai konsekuensi maksimasi utilitas atau secara tidak langsung pada profit atau maksimasi kekayaan. Sehingga segala bentuk model yang dibangun harus memberikan dukungan pada asumsi utama ini. Inilah yang disebut dengan Conventionalisme atau Friedman’s Instrumentalism, yaitu bahwa model merupakan aproksimasi yang baik dari realitas.
PAT memang sampai saat ini masih tidak berubah dari substansi asalnya. Hal ini ditegaskan oleh Gaffikin (2005), bahwa PAT memiliki asumsi sentral yaitu setiap individu selalu memiliki tujuan untuk meningkatkan kepentingan dirinya sendiri. Asumsi ini berasal dari teori ekonomi neo-klasikal. Tujuannya adalah untuk menjelaskan dan memprediksi praktik akuntansi serta mengendalikan perilaku opurtunistik dalam bentuk bonding (seperti restriksi), monitoring (seperti reporting) dan compensation (seperti stock options). Kritik Gaffikin (2005) menyatakan bahwa PAT tidak pernah melakukan preskripsi, tidak bebas nilai, memiliki asumsi keperilakuan yang simplistis, secara scientific mengidap cacat (flawed), dan miskin (atau tidak memiliki) kontribusi praktis akuntansi.

4.      EVALUASI KRITIS PAT
Kritik-kritik terhadap PAT sebenarnya merupakan diskursus yang memberikan kontribusi keilmuan akuntansi. Kritik balik Watts dan Zimmerman (terutama dalam kritik filosofis-saintifik) yang dialamatkan kepada mereka, dianggap tidak memiliki kontribusi apapun terhadap praktik akuntansi. Kerangka berpikir Watts dan Zimmerman sepertinya lebih didorong oleh pragmatism utility of knowledge of accounting research. Ukuran yang dipakai oleh Watts dan Zimmerman ditera sesuai dengan kontribusi yang dihasilkan oleh mereka sendiri, yang menurut mereka PAT lebih memberi manfaat langsung. Sedangkan kontribusi yang diinginkan oleh para kritikus memang berbeda, yaitu masuk pada substansi keilmuan akuntansi dan bukan hanya terpenjara dalam praktik akuntansi an sich.
Value Laden :
Dalam konteks value laden misalnya, Watts dan Zimmerman memahami pentingnya nilai yang mempengaruhi akuntan. Tetapi Watts dan Zimmerman tetap tidak memahami pengaruh yang muncul ketika nilai sosiologis-psikologis akuntan bersentuhan dengan hasil yang diperoleh oleh akuntan dalam bentuk laporan keuangan misalnya. Dijelaskan Chua (1986), akuntansi bukan hanya dipandang sebagai rasional teknik saja, suatu aktivitas jasa yang terpisah dari hubungan kemasyarakatan. Tetapi, seperti dikatakan oleh Hines (1989), bahwa :
accounting creates and maintains (or can play a part in changing) the social world, is through its reflection and reinforcement of the values of society.
Ketika akuntansi sarat nilai, yaitu ketika akuntansi konvensional masih didominasi world-view Barat, yang terjadi dalam karakter akuntansi pasti bernilai kapitalisme, sekuler, egois, anti-altruistik. Hameed (2000a) menggambarkan, bahwa tujuan akuntansi sebagai decision usefulness untuk investor dan kreditor yang berorientasi pada pasar modal berasal dari world-view materialisme dan norma-norma ekonomi kapitalisme. Hal ini ditegaskan Harahap (2001, 305-306), bahwa akuntansi barat dibangun atas dasar filsafat materialisme-sekulerisme hasil pemikiran manusia tanpa campur tangan Allah.
Bila ditelusuri lebih jauh, akar pemikiran akuntansi konvensional tersebut berasal dari substansi Ilmu Ekonomi, yang berprinsip pada self-interest (lihat misalnya pemikiran Soros 2002 hal 140 ). Self-interest adalah representasi substansi pandangan dunia (world-view/paradigma) Barat yang sekuler dan kapitalistik.
Sekularisme adalah bentuk 3 penegasian, yaitu penegasian kekuasaan dan kekuatan di luar manusia (anthropocentrism), hilangnya nilai-nilai non-materi (materialism) dan penolakan terhadap certainty condition (relativism) (lebih jauh lihat Al-Attas 1981). Ketika sekularisme telah muncul di awal pembentukannya di kalangan Barat setelah Renaissance dan Revolusi Ilmiah serta Revolusi Teknologi. Diakui sendiri oleh kalangan Barat, bahwa sekularisme telah keluar dari domain religi, dan telah bermakna sosiologis (lihat misalnya sosiologi sekularisasinya Glasner 1992). Sekularisme dalam akuntansi, ketika melihat akuntansi modern hanya memiliki sifat materialisme. Seperti terlihat dalam laporan keuangan yang hanya memberikan informasi tentang aktivitas perusahaan yang bersifat materi dan diukur dalam unit uang, atau singkatnya menyajikan realitas materi saja.
Pemikiran kapitalisme seperti dijelaskan panjang lebar oleh Fukuyama (2003) seorang pemikir politik beraliran Neo-Hegelisme, menyebutkan manusia adalah seperti binatang yang memiliki kebutuhan alami dan hasrat terhadap benda di luar dirinya seperti makanan, minuman, tempat berlindung, dan segala sesuatu yang mempertahankan fisiknya. Namun, lanjut Fukuyama, manusia berbeda secara fundamental dari binatang, karena disamping manusia memiliki hasrat terhadap orang lain, ia juga ingin “diakui” oleh orang lain, terutama dia ingin diakui sebagai manusia dengan martabat dan penghargaan tertentu. Penghargaan, menurut Fukuyama adalah pertama yang berhubungan dengan keinginannya untuk mempertaruhkan kehidupannya demi perjuangan memperoleh prestise yang lebih baik. Karena hanya manusia, lebih lanjut Fukuyama menjelaskan, yang mengatasi instink hewan untuk mencapai prinsip-prinsip tujuan yang lebih abstrak dan tinggi. Tujuan dalam peperangan berdarah pada awal sejarah bukanlah makanan, tempat berlindung atau keamanan, tetapi semata-mata untuk prestise.
Sehingga yang muncul kemudian adalah takut matinya seseorang atas orang lain, dan akhirnya muncul yang dinamakan sebagai “tuan” dan “budak”. Berdasarkan filosofi inilah kemudian kapitalisme berkembang, seperti yang dijadikan landasan Weber, melegitimasi kapitalisme sebagai rasionalisasi kemajuan dan perbaikan manusia dalam mengarungi dunia. Weber (2003) telah mengarahkan bagaimana Akuntansi sebagai alat dari para pemilik modal untuk melegitimasi, mencatat dan mempertahkan kepentingan pribadinya. Ketika perusahaan sebagai pusat modal dan simbol kekuasaan, berkembang dengan pemisahan antara pemilik modal dan manejemen, maka yang terjadi sebenarnya bukanlah konflik kepentingan dalam teori agensi. Dalam domain akuntansi, pengaruh kapitalisme dijelaskan oleh Hines (1989), pertama, bahwa fungsi-fungsi akuntansi berjalan di dalam lingkungan pasar kompetitif dan yang kuat yang akan bertahan. Pasar diarahkan pada the invisible hand kompetisi bebas, perusahaan yang paling efisien yang paling profitable dalam terminologi akuntansi. Kedua, asumsi produsen dan pengguna informasi akuntansi bertindak rasional, yang menurut Hines merupakan terminologi yang dibangun dari tradisi self-interest yang berdampak pada survival of the fittest. Sehingga berakibat pada studi-studi akuntansi yang kurang memperhatikan aspek eksternalitas. Dan ketiga, lebih mementingkan shareholders dan creditors, dimana hanya hak kepemilikan (property rights) riil yang dianggap eksis, dan cenderung mereduksi hak-hak masyarakat lainnya yang sarat dengan nilai.
Dua hal itulah (sekularisme dan kapitalisme) yang kemudian mengarahkan pemikiran manusia Barat menjadi terobsesi dengan dirinya sendiri. Muncul dalam bentuk pondasi ekonomi Barat yang berprinsip pada Self-Interest. Dengan prinsip utama self-interest, berdampak pada kepentingan perusahaan yang berorientasi stockholders atau shareholders. Kepentingan tersebut adalah bentuk penegasian kekuatan di luar dirinya dan tidak berlakunya nilai etis. Serta mengarahkan konteks ekonomi yang selalu berada pada kondisi ketidakpastian yang mutlak, dan tidak bermanfaatnya eksternalitas kecuali berdampak langsung terhadap dirinya. Ujung-ujungnya, adalah rekayasa kepentingan manusia yang harus selalu memikirkan untuk dapat hidup dalam kepuasan dan kesenangan (laissez-faire ). Dampak lanjutan dari self-interest dalam akuntansi, mengarah pada laporan keuangan, informasi serta akuntabilitas pada shareholders maupun stockholders (lihat misalnya Triyuwono 2000; Hameed 2000b; Harahap 2002). Bentuk riilnya terpampang dalam Laporan Laba Rugi/Income Statement, dengan akhir perhitungan, berupa Laba (earnings-based oriented).
Mathematical Constructions :
Di samping itu, teori akuntansi, menurut Sterling (1990) bukan hanya reduksi informasi akuntansi menjadi mathematical constructions, tetapi juga berhubungan dengan things dan events. Bila memang asumsi akuntansi mirip studi kealaman, dengan demikian perlu penggeseran tradisi keilmuan menjadi cabang ilmu matematika dan teknik, menjadi penting S-Matrix Theory dari Geoffrey Chew yang merupakan gagasan teknis dari Filsafat Bootstrap. Filsafat Bootstrap (Capra 2000) adalah teori puncak fisika kuantum dan relativitas, dengan kesadaran kesalinghubungan esensial dan universal, memperoleh unsur dinamisnya dari teori realitivitas dan dirumuskan dalam konteks probabilitas reaksi dalam S-Matrix Theory. S-Matrix Theory yang menggabungkan konsep Kuantum dan Relativitas layak dipertimbangkan untuk memahami sifat-sifat informasi akuntansi sebagai representasi simbolik reaksi partikel (investor) yang dideskripsikan dalam konteks kecepatan (momentum) investor ‘bermain’ di bursa saham.
Tetapi, sekali lagi, apakah mungkin S-Matrix Theory kemudian hanya terpakai secara parsial dalam Teori Akuntansi Positif, seperti yang terjadi dalam pemakaian asumsi dasar teoritis ekonomi Neo-Klasik yaitu konsep utility maximization dari Chicago School, MIT, Harvard ataupun London School of Economics. Utility maximization yang hanya dipakai sampai pada taraf kepentingan pemilik modal dan menegasikan asumsi lanjutan yang bersifat Keseimbangan Pareto? Karena S-Matrix Theory mensyaratkan empat postulat (prinsip umum) yang membatasi kemungkinan matematis untuk mengkonstruksi elemen matriks S sehingga memberikan suatu struktur tertentu pada matriks S.
-          Prinsip pertama, berasal dari teori relativitas, yaitu bahwa probabilitas-probabillitas reaksi mesti tak tergantung (Independensi) pada perpindahan peralatan eksperimental dalam ruang dan waktu, tak bergantung pada orientasinya dalam ruang dan tergantung pada keadaan gerak dari pengamat. Independensi suatu reaksi partikel terhadap orientasi dan perpindahannya dalam ruang dan waktu menyiratkan kekelan jumlah total rotasi, momentum dan energi yang terlibat dalam reaksi. Simetri ini sangat mendasar bagi aktivitas ilmiah.
-          Prinsip kedua, berasal dari teori kuantum, bahwa hasil reaksi tertentu hanya dapat diprediksi dalam konteks probabilitas, dan lebih jauh lagi, jumlah probabilitas untuk seluruh hasil yang mungkin – termasuk ketika tak terjadi interaksi antar partikel – harus sama dengan satu. Dengan kata lain, kita bisa memastikan apakah partikel-partikel ini akan berinteraksi satu sama lain, atau tidak sama sekali. Prinsip ini dinamakan prinsip uniter yang secara tegas membatasi kemungkinan-kemungkinan untuk menyusun elemen matriks S.
-          Prinsip ketiga dan keempat, terkait dengan gagasan tentang sebab akibat (prinsip kausalitas). Prinsip ini menyatakan bahwa energi dan momentum berpindah melalui jarak-jarak spasial hanya melalui partikel-partikel, dan perpindahan energi dan momentum ini terjadi sedemikian sehingga sebuah partikel dapat tercipta dalam suatu reaksi dan musnah dalam reaksi lainnya hanya jika reakis yang terakhir terjadi setelah reaksi sebelumnya. Rumusan matematis dari prinsip energi dan momentum dari partikel-partikel yang terlibat dalam suatu rekasi, kecuali untuk nilai-nilai dimana penciptaan partikel-partikel yang baru menjadi mungkin. Pada nilai-nilai itu, struktur matematis dari Matriks S berubah secara tiba-tiba; menjumpai apa yang disebut matematikawan sebagai singularitas
Ulitity Maximization
Kemudian, berkaitan dengan reduksi positifisme logis atas ekuilibrium dan definisi utility maximization yang masih dipahami sebagai approximation dalam bentuk income, cashflow, abnormal return dan lainnya. Watts dan Zimmerman masih tidak menginginkan adanya bentuk lain dari utility maximization seperti pandangan filantropis, misalnya distribusi kesejahteraan atau value added. Atau mungkin di luar utility maximization yang tidak ter’cover’ dalam asumsi dasar economic based accounting theory. Seperti konsep mandatory-charity atau dalam bahasa budaya asli kita, shadaqah, infaq dan zakat yang tidak (belum) dipahami dengan utuh dalam konsep Kapitalisme, Materialisme dan Anthropocentrism (Self-Interest) yang merupakan substansi dari konsep utility maximization Chicago School, MIT, Harvard ataupun London School of Economics.

5.      CATATAN AKHIR
Benarlah kemudian ketika Suwardjono (2005, 32-34; 482-495) yang meletakkan pembahasan mengenai PAT sebagai bagian dari Akuntansi dalam Tataran Pragmatik. Tataran Pragmatik dalam teori komunikasi berkepentingan untuk menentukan apakah pesan sampai kepada penerima dan mempengaruhi perilaku yang dituju. Teori akuntansi pragmatik memusatkan perhatiannya pada pengaruh informasi terhadap perubahan perilaku pemakai informasi akuntansi. Apakah akhirnya pihak pemakai informasi tersebut untuk dasar pengambilan keputusan merupakan masalah usefulness informasi.
Hal ini ditunjukkan dengan adanya asosiasi antara angka akuntansi atau peristiwa (event) dengan return, harga atau volume saham di pasar modal
Sebenarnya kontribusi keilmuan akuntansi tidak hanya bersifat pragmatis saja, tetapi harus selalu dalam bentuk multidimensi dan multi arah. Tidak hanya bersifat linier dan selalu dependensi satu arah atau beberapa arah yang membentuk parsial utility. Kontribusi haruslah integrated utility, yang dengan itu maka akuntansi tidak terjebak pada konteks pragmatis saja dengan ambil teori sana, ambil teori sini.
Akuntansi bukanlah “bangunan mati” yang dapat didirikan oleh batu batu, semen, pasir, cat yang semuanya berasal dari benda mati. Tetapi bila ingin menjadi ilmu yang kokoh, seharusnya mengarah menjadi “pohon hidup” keilmuannya sendiri. Struktur keilmuan akuntansi yang memiliki akar kuat, ke dalam, memiliki batang yang kokoh, cabang dapat memberikan tempat bagi daun dan buah untuk tumbuh, serta bermanfaat dan bagi lingkungan serta entitas di luarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar